MAKALAH
ILMU
SOSIAL DAN BUDAYA
“KEBUDAYAAN
BANTENGAN DI KABUPATEN MALANG”
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah ISBD
(Ilmu Sosial dan Budaya Dasar)
Dosen Pengampu:
Atika Candra Larasati, S.IP., M.Si
Disusun Oleh:
Shofiyatil Khamidah (12620024)
Henita Silmi
Khavata (13620037)
Anis Nur Laily (13620047)
Cholivia Mayangsari (13620059)
Izzatinnisa (13620061)
Magstin Najla
Safura (13620072)
Muhammad Ihsanudin(13620073)
Moch. Yajid Bastomi (13620078)
JURUSAN
BIOLOGI
FAKULTAS
SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSTAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah
memberikan taufik, hidayah serta inayah-Nya, sehingga kita semua masih bisa
beraktivitas sebagaimana biasanya, tak terkecuali penyusun. Sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah Ilmi Sosial dan Budaya dengan judul “Kebudayaan Bantengan di Kabupaten Malang”.
Makalah ini berisi mengenai pemaparan tentang pandangan masyarakat terhadap kebudayaan bantengan,
solusi agar nilai estetika dari kebudaayaan bantengan tidak tergeser dan juga
lengkap dengan analisi, solusi dan pandangan Islam terhadap kebudayaan
bantengan.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih pada rekan satu kelompok yang telah
bekerja dan berusaha dengan baik dalam menyusun makalah ini. Kepada rekan-rekan seperjuangan yang telah mendukung penyusunan
makalah ini. Tak lupa banyak terima kasih juga penyusun sampaikan kepada Ibu
dosen mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya,
yakni Atika Candra Larasati, S.IP., M.Si yang
telah memberikan bimbingan sehingga makalah ini dapat tersusun dengan baik dan
insya’allah benar.
Penyusun
berharap dengan tersusunnya makalah ini dapat memberikan manfaat, serta dapat
memperluas pengetahuan dan wawasan tentang kebudayaan bantengan bagi pembaca dan penyusunnya. Kemudian kembali kepada fitrah
penyusun yang hanyalah sebagai manusia biasa, yang pastilah tidak akan pernah
lepas dari salah dan dosa, oleh sebab itu penyusun mohon ma’af atas kekurangan
atau kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Oleh sebab itu pula penyusun
meminta kritik dan saran dari pembaca guna memperbaiki makalah ini.
Malang, 01 April 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
C.2 Pertunjukan Inti...................................................................................... 8
C.3 Penutupan dalam
Pertunjukan............................................................... 10
D. Analisis......................................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebudayaan berasal dari kata Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1990) dalam Pengantar Ilmu Antropologi adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, da sebagainya.
Setiap daerah mempunyai budaya masing-masing, yang tak lepas dari kebiasaan nenek moyang yang dilestarikan. Salah satu kebudayaan tersebut adalah bantengan yang popular di Kabupaten Malang. Seni tradisional Bantengan adalah sebuah seni pertunjukan budaya tradisi yang menggabungkan unsur sendra tari, olah kanuragan, musik, dan syair (mantra) yang sangat kental dengan nuansa magis. Bantengan ini selalu diiringi oleh sekelompok orang yang memainkan musik khas bantengan dengan alat musik berupa gong, kendang, dan lain-lain.
Kebudayaan
bantengan ini banyak dipentaskan dalam setiap acara yang diselenggarakan
didaerah Pakis, salah satunya adalah karnaval. Dalam acara karnaval ini,
pementasan bantengan dipentaskan dengan banyak menampilkan dari segi mistis.
Setiap pemain yang dirasuki oleh roh halus dalam kesenian bantengan ini
didampingi oleh dukun yang mengatur jalannya pementasan bantengan. Pementasan
yang menunjukkan pemain berperilaku seperti banteng karena telah terasuki oleh
roh halus ini berjalan dengan durasi yang lama, sehingga kesenian berupa
iringan musik dan tarian dari kesenian banteng ini tidak terlihat atau
terkadang tidak ditampilkan. Oleh karena itu, kebanyakan masyarakat di daerah
Pakis hanya melihat kesenian bantengan dari segi mistis saja dan cenderung
melupakan bahwa kesenian bantengan itu sendiri tidak hanya berupa mistis tetapi
juga ada iringan musik dan tarian yang khas.
B. Rumusan Masalah
Rumusan
masalah yang terdapat dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan masyarakat di Kecamatan
Pakis Kabupaten Malang terhadap kebudayaan bantengan?
2. Bagaimana solusi agar nilai seni dari kebudaayaan bantengan tidak
tergeser?
C. Tujuan
Tujuan
yang terdapat dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pandangan masyarakat di Kecamatan
Pakis Kabupaten Malang terhadap kebudayaan bantengan.
2. Untuk mengetahui solusi agar seni dari kebudaayaan bantengan tidak
tergeser.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bantengan
Bantengan berasal dari kata “Be-Banten” dengan
pengartian “be” sebagai kerukunan dan “banten” sebagai menyembelih. Bantengan menurut istilah dapat diartikan dengan beban yang ringan, karena
kerukunan. Dalam suatu kebudayaan terdapat beberapa unsur kebudayaaan yaitu:
peralatan dan perlengakapan hidup manusia, mata pencaharian hidup dan
sistem-sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan,bahasa, kesenian, system
pengetahuan, religi. Dari unsur tersebut Bantengan
pastilah masuk dalam unsur kebudayaan kesenian.
Kesenian
bantengan merupakan kesenian komunal yang melibatkan banyak orang didalam
setiap pertunjukannya. Seperti halnya sifat kehidupan hewan banteng, yaitu
hidup berkelompok (koloni), kebudayaan bantengan
ini membentuk perilaku masyarakat yang menggelutinya untuk selalu hidup dalam
keguyuban, gotong royong dan menjunjung tinggi rasa persatuan kesatuan.
Seni tradisional bantengan,
merupakan sebuah seni pertunjukan budaya tradisi yang menggabungkan unsur sendratari,
olah kanurangan, musik, dan syair (mantra) yang sangat kental dengan nuansa
magis. Pemain bantengan yakin
bahwa permainannya akan semakin menarik apabila telah masuk tahap trance
yaitu tahapan pemain pemegang kepala bantengan
menjadi kesurupan arwah leluhur banteng (Dhanyangan).
Setiap grup bantengan minimal
mempunyai dua bantengan seperti
halnnya satu pasangan yaitu bantengan jantan
dan betina.
B.
Sejarah Bantengan
Seperti halnya di daerah lain di
seluruh Nusantara, kesenian tradisional adalah salah satu bentuk identitas dari
daerah yang bersangkutan. Begitu juga halnya dengan Bantengan, meskipun sampai
sekarang belum ada kajian ilmiah yang menguatkan tentang awalmula lahirnya seni
tari Bantengan ini. Namun yang
pasti, Kesenian yang lahir dari basis ilmu silat ini hanya ada di wilayah
Malang raya, utamanya di Poncokusumo, Tumpang, dan Kota Batu. Tak ketinggalan,
kota di sekitar juga mengenal budaya
Bantengan, seperti Kediri, Probolinggo dan Pasuruan, namun setiap daerah
memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri.
C. Rangkaian Acara dalam Bantengan
Setiap acara dalam bantengan terdapat pembukaan yang
harus dilakukan untuk meminta doa restu dan pamit, agar diberi kelancaran acara
oleh Allah SWT. Bantengan identik dengan pihak ketiga maka dalam pembukaan
mulailah mengeluarka mantra-mantra untuk pihak ketiga agar ikut serta.
Setelah menyelesaikan
matra-mantra dan doa, dimulailah pertunjukan yang diawali dengan pencak silat,
kemudian keluarlah banteng, macan serta monyet untuk menampilkan pertunjukan
mereka yang dibantu oleh pihak ketiga.
Saat penutup, para pendekar
mengucapkan terimakasih, dan memohon maaf atas kesalahan kepada para penonton,
dan leluhur dan tak lupa pihak ketiga dalam penutupan di kembalikan ke
tempatnya.
C.1 Ritual pembukaan
Dalam
ritual pembukaan bantengan tak lepas dari banyak instrumen, dan instrument
terpenting adalah bebauan kemenyan
atau dupa. Dan sesajianpun harus di
sediakan dalam acara pembukaan ini, namun tidak disyaratkan untuk memenuhi sesandhingan dengan sesajian daun
sirihpun pertunjukan dapat dilaksanakan. Hal tersebut tergantung kepercayaan
para pendekar masing-masing.
Mantra ataupun doa dalam bantengan mempunyaiciri khas
masing-masing bagi berbagai pemeluk agama. Untuk yang beragama islam maka
menggunakan mantra berbahasa arab, untuk agama kejawen maka menggunakan bahasa
jawa, dengan inti ”karena Allah semoga acara ini berjalan lancar dan baik dan
tidak ada kendala apapun”.
Tempat khusus untuk
melakukan ritual pembukaan yang dijuluki “pepundhen” yaitu tempat sesepuh dan
leluhur, misalkan seseorang yang membuat desa tersebut maka beliaulah sebagai
leluhur dan sesepuh. Maka untuk ritual pembukaan atau berpamitan, dianjurkan
untuk berpamitan di tempat sesepuh di semayamkan.
Gamelan merupakan alat
musik yang wajib ada untuk pertunjukan, tak lupa dengan jidor dan ketipung. Sesaji
juga memiliki makna simbolis dan memiliki sifat mistis. Adapun dalam bantengan
terdapat bagian-bagian sesaji yang terkandung didalamnya:
ü Pisang setangkep: merupakan sebuah symbol dari tingkah laku manusia
ü Kelapa: lengkap
ü Jambe soroh: yang dalam kiroto boso adala “kesusu selak pingin eroh” yang
digunakan untuk member jamuan terhadap leluhur mereka karena semasa hidupnya
mereka suka mengunyah sirih
ü Dupo: berasal dari kata usodo yang berarti obat, sedangkan apabila dilihat
sesuai dengan materialnya yakni pring berasal dari kendel ileng yang berarti
bahwa setiap manusia harus ingat dengan tuhan YME serta nenek moyang mereka
yang berada dia alam roh sunyi. Asap dupa atau kukus merupakan symbol dari
kekuasaan dari Tuhan (dilihat ari asapnya yang selalu terbang keatas). Serta
mengungkapkan do’a yang diinginkan.
ü Minyak wangi: atau sesuatu yang berbau harum, namun terkadang dalam setiap
sesaji terdapat sekar tigan atau bunga tiga warna
ü Endok: telur, sebagai simbol tri tunggal (kulit, putih telur, dan kuning telur)
dimana kulit mewakili kehidupan di dunia, sedangkan putih telur alam (air,
tanah, api, udara, tumbuh-tumbuhan) dam kuning telur yang menempati.
Memanfaatkan alam (hewan dan manusia)
ü Badrek: fermentasi air ketan hitam, yang berwarna hitam, menyimbolkan bahwa
manusia seharusnya melakukan sifat andhap-ashor seperti warna bayangan manusia
ü Do’a: merupakan kalimat atau ucapan yang menyimbolkan harapan, tujuan serta
keinginan kepada tuhan Yang Maha Esa
ü Duwik: uang, sebagai bekal untuk roh-roh suci(pesangon) dialam roh sunyi
ü Petek ingkung: ayam jantan, yang dimasak utuh sebagai symbol ayem atau
kedamaian, serta sebagai ucapan syukur kepada roh-roh suci yang diundang dan
mengawal pagelaran seni tradisional batengan/jaranan.
C.2 Pertunjukan Inti
Seperti halnya pembukaan, di
intipun tetap harus diiringi oleh musik gamelan, jidor dan ketipung. Bantengan
tidaklah sama dengan reog yang mempunyai naskah drama yang tertata rapi. Namun
bantengan murni atraksi, tidak mempunyai unsur cerita. Dalam pertunjukan
banteng kadang kala kita melihat ada binatang lain, seperti macan dan monyet.
Binatang-binatang ini mempunyai filosofi tersendiri, seperti halnya banteng
yang melambangkan kebijaksanaan yang berdasar dari rakyat, sedangkan macan
melambangkan angkara murka, dan monyet melambangkan iri dengki.
Dalam pertunjukan banteng
biasanya hanya terdapat atraksi yang dilakukan monyet memprovokasi dan mengadu
domba antara macan dan banteng, sehingga banteng dan macanpun beradu sampai
akhir pertunjukan dengan macam-macam gerakan
gerakan sesuai aturan-aturan
budaya bantengan sesuai daerah. Bantengan membutuhkan beberepa ornamen yaitu:
1.
Tanduk
(banteng, kerbau, sapi dan lainnya).
2.
Kepala banteng
yang terbuat dari kayu ( waru, dadap, miri, nangka, loh, kembang).
3.
Mahkota
Bantengan, berupa sulur wayangan dari bahan kulit atau kertas.
4.
Klontong
(alat bunyi di leher).
5.
Keranjang
penjalin, sebagai badan (pada daerah tertentu hanya menggunakan
kain hitam sebagai badan penyambung kepala dan kaki
belakang).
6.
Gongseng kaki.
7.
Keluhan
(tali kendali).
Dalam menjalankan pertunjukannya bantengan memerlukan pelengkap:
1.
Dua orang
Pendekar pengendali kepala bantengan (menggunakan tali tampar)
2.
Pemain Jidor,
gamelan, pengerawit, dan sinden. Minimal 1 (satu) orang pada setiap posisi
3.
Sesepuh, orang yang
dituakan. Mempunyai kelebihan dalam hal memanggil leluhur Banteng
4.
Dhanyangan yaitu leluhur bantengan
5.
Pamong dan
pendekar pemimpin yang memegang kendali kelompok dengan
6.
Minimal ada dua
Macanan dan satu Monyetan sebagai peran pengganggu bantengan.
C.3 Penutupan Dalam Pertunjukan
Setelah
dirasa cukup untuk memainkan banteng tersebut acara yang terakhir yaitu
penutupan. Penutupan ini ialah mengembalikan makhluk halus tersebut. Menurut
bapak Muslimin ada dua cara untuk mengembalikan makhluk halus tersebut dan
menyadarkan si pemain bantengan itu, jika menurut islam cukup dibacakan
syahadad tiga kali, sholawat tiga kali dan takbir tiga kali pada telinga pemain
banteng tersebut kemudian akan kembali seperti sedia kala. Jika menurut jawa
cukup dibacakan aksara jawa namun membacanya dari belakang dahulu. Intinya
acara penutupan tersebut merupakan bentuk terimakasih atas kedatangan yang di
undang, dan memohon maaf apabila ada kesalahan bagi yang mengundang atau yang
menonton bantengan tersebut. Berisi saran agar tidak kerasukan. Kemudian berdoa
pada Tuhan agar diberi keselamatan.
D. Analisis
Kesenian bantengan merupakan kesenian
komunal yang melibatkan banyak orang di dalam setiap pertunjukannya. Seperti
halnya sifat kehidupan hewan banteng, yaitu hidup berkelompok (koloni),
kebudayaan bantengan ini
membentuk perilaku masyarakat yang menggelutinya untuk selalu hidup dalam
keguyuban, gotong royong dan menjunjung tinggi rasa persatuan kesatuan.
Dalam pertunjukkan bantengan terdapat berbagai macam
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya,
terutama nilai kebudayaan. Contohnya saja penggunaan sesajian, kemenyan, dan dupa yang merupakan sebuah kebudayaan
yang masih dipegang teguh untuk dilakukan. Kebudayaan juga mencerminkan dari
sebuah daerah dimana bantengan tersebut berkembang.
Selain seni bantengan ada juga seni religi yang
terkandung, yaitu seperti halnya pembacaan do’a pada saat pembukaan yang
dimaksudkan untuk memohon keselamatan kepada Tuhan menurut agama masing-masing
dan juga berpamitan kepada leluhur desa tempat diadakannya pertunjukkan. Ada
juga nilai mistis yaitu ketika seorang penonton yang bersiul akan mengalami
kerasukan setan karena konon katanya bersiul itu sama saja melecehkan setan.
Ada juga nilai kebenaran dalam seni
ini. Menurut Desprianto (2013) dalam seni bantengan, nilai kebenaran ini tampak
pada saat pemain banteng melawan macan dalam perkelahiannya bisa mengalahkan
para pemain macanan yang merupakan perwujudan bangsa kolonial yang menjajah
bangsa pribumi. Hal ini berarti bahwa kebenaran suatu saat pasti akan
mengalahkan kejahatan.
Kesenian Bantengan pada zaman dahulu merupakan tradisi yang sangat kental
akan nilai-nilai yang terkandung di dalam kesenian tersebut dalam prospek untuk
mendatangkan keberkahan di dalam desa asal usul kesenian bantengan. Dalam
sebuah pementasan bantengan zaman dahulu, terdapat berbagai runtutan dan aturan
penyelenggaraan kesenian bantengan. Aturan-aturan kesenian bantengan zaman
dahulu selalu dipakai sebagai patokan penyelenggaraan kesenian bantengan.
Berbeda dengan zaman sekarang, dengan perkembangan zaman kesenian bantengan
lebih terlihat sebagai kesenian yang memperlihatkan banyak hal yang menekankan
kemistisan seperti kesurupan. Kesurupan ini ditekankan supaya penonton merasa
terhibur dan tertarik dengan kesenian bantengan ini. Pada setiap pementasan
bantengan salah satunya dalam acara karnaval, bantengan hanya terlihat dari
segi mistis, sedangkan aturan-aturan atau aturan-aturan yang terdapat dalam kesenian
bantengan tidak dijalankan keseluruhan. Iringan musik dan tarian yang khas dari
kesenian bantengan juga dipentaskan hanya sekilas atau dengan durasi pendek.
Dan terkadang iringan musik tidak terdengar dikarenakan iringan musik dan orang
yang memainkan bantengan terpisah dalam acara karnaval tersebut.
Dari banyaknya nilai yang terkandung dalam kebudayaan bantengan, dimasa
kini telah terjadi pergeseran pandangan kebanyakan masyarakat pada masa
sekarang, penonton tidak mengindahkan ataupun tidak mengetahui nilai-nilai
tersebut karena mereka hanya mengetahui dan menginginkan hal-hal yang berbau
mistis. Seperti halnya kesurupan dan sesuatu yang dinamakan cekelan
(pegangan). Cekelan yang dimaksudkan disini adalah makhluk halus yang
memiliki berbagai macam tipe dan hal itu menjadi daya tarik sendiri bagi
sebagian kalangan masyarakat. Nilai seni semakin tidak diindahkan sehingga
semakin lama pakem dari seni bantengan semakin dilupakan yang kemnudian
pada akhirnya bantengan hanyalah menjadi tontonan yang tidak memiliki nilai
apa-apa.
E. Solusi
Solusi terbaik untuk menghindari penyalahgunaan kebudayaan, haruslah
ditanamkan rasa cinta dan kepemilikan terhadap budaya tersebut. Agar tidak
terjadi pelanggaran seperti hilangnya
kesenian yang ada pada bantengan, yang ada hanyalah pertunjukan yang
menonjolkan kesurupan sebagai komoditas utama sebagai daya jual kepada
masyarakat. Jadi disini bantengan hanya menjadi entertain bagi beberapa
kalangan masyarakat.
Untuk mennyelesaikan masalah-masalah diatas, perlulah tindak lanjut
terhadap penyalahgunaan budaya oleh seniman dan budayawan yang mempunyai
wewenang, agar penyalahgunaan tersebut tidak diulangi kembali. Seni dalam
bantengan seperti tarian, musik, dan olah kanuragan harus tetap dijaga hal-hal
filosofis yang ada di dalamnya, tidak hanya menonjolkan mantra yang sarat
dengan nuansa magis yang berakhir dengan atraksi kesurupan, seperti yang
terjadi pada pertunjukan bantengan sekarang.
F. Pandangan Islam
Bantengan merupakan sebuah seni tradisi khas Jawa Timur yang mengandung unsur kesurupan
(trance) di dalamnya, sebagai bukti bahwa hal ini merupakan hasil dari
manifestasi kepercayaan mereka mengenai hal-hal transcendental yang berada disekeliling mereka, seperti pada
Tuhan, roh-roh suci, arwah nenek moyang, dewa-dewi, roh penunggu tempat (danyang).
Dalam melakukan interaksi dengan hal
trasendental disekeliling mereka, maka digunakanlah sesaji sebagai simbol komunikasi serta sebagai simbol manifestasi kepercayaan mereka. Hal ini dikarenakan
sesaji merupakan sebuah salah satu bentuk fisik dari symbol kepercayaan mereka.
Selain itu, dalam kesenian tradisi jawa, khususnya kesenian bantengan, sesajen memiliki
keterkaitan erat dengan prosesi trance atau kesurupan (kalap).
Dalam
pandangan islam, ini menjadi salah satu yang sering kali banyak dipertanyakan
oleh orang banyak kerena pada ritual bantengan terdapat kesurupan (trance)
dimana roh-roh halus dipanggil untuk ditransfer ke dalam tubuh manusia yang memainkan bantengan.
Ada sebagian yang mempercayai adanya hal seperti itu namun tidak banyak juga
yang tidak mempercayai adanya hal tersebut. Di dalam alam secara bebas ini terdapat alam ghaib yang
dihuni oleh makhuk tak kasat mata, misalnya saja, Jin atau setan yang pada
umumnya keduanya tergolong makhluk yang durhaka kepada Tuhan. Sebagaimana yang
telah dijelaskan kedalam al-Qur’an dalam surat Al-An’am (6) ayat 100:
Artinya:
“Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin sekutu-sekutu Allah,
padahal Dia yang menciptakannya (jin-jin itu), dan mereka berbohong (dengan
mengatakan), "Allah mempunyai anak laki-laki dan anak perempuan,"
tanpa (dasar) pengetahuan. Mahasuci Allah
dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka.” (Q.S Al-An’am: 100)
Kesimpulan
dari ayat tersebut adalah Manusia dan Jin diciptakan hanya untuk menyembah
Allah. Jin dan Manusia sama-sama tidak tau
akan hal yang gaib. Namun, manusia diwajibkan untuk mempercayai adanya hal atau
alam ghaib. Hal tersebut apabila
dikaitkan dengan kesenian Bantengan dapat dikatakan bahwa adanya suatu mistis
dalam serangkaian ritual Bantengan, apabila suatu hal yang dikerjakan dan di dalamnya
terdapat kerjasama antara manusia dan jin merupakan musyrik. Karena ditinjau
dari segi pelaksanaannya, bahwa sesuatu hal yang tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah adalah perbuatan yang bid’ah dan segala sesuatu yang bid’ah adalah
dosa. Sesuatu hal tidak dapat dibenarkan pelaksanaanya saat itu melanggar hokum
syari’at dan menggunakan kekuatan jin dan dijadikan sebagai ritual. Jika niat kerjasama antara manusia dan jin adalah untuk
menyekutuklan allah maka itu merupakan hal yang musyrik dan itu hukumnya haram.
Selain itu, menyekutukan Allah merupakan perbuatan syirik. Sebuah kesenian tidak
dapat dihubungkan dengan ketuhanan. Di dalam kesenian
bantengan memang terdapat kerjasama antara manusia dan jin, namun, hal ini
diartikan kerjasama yang bagaimana dulu. Di dalam kesenian ini yang dimaksudkan kerjasama antara
manusia dan jin adalah hanya untuk mengajak ikut bersama-sama dalam memeriahkan
permainan bantengan, itupun juga dengan seizin Allah SWT karena ketika pemanggilan roh juga dimasukkan do’a-do’a
yang islami. Dan juga ketika dalam rangkaian acara juga menyelipkan pesan-pesan
moral yang islami dan juga kesenian ini bisa dikatakan sebagai bentuk dakwah
yang melalui sebuah kesenian, seperti halnya yang pernah dilakukan oleh Sunan
Kalijaga, beliau mensyi’arkan agama
islam melalui kesenian yakni Wayang.
Jadi ketika dilakukan kerjasama antara manusia dan jin tapi dengan niat
ingin menunjukkan kebesaran Allah SWT dan memperlihatkan bahwasanya adanya alam ghaib itu
benar adanya maka hukumnya itu diperbolehkan.
Respon masyarakat
mengenai bantengan masih banyak yang tertarik serta, bantengan masih tetap
dilakukan di berbagai desa di kabupaten Malang, khususnya di kecamatan Pakis.
Dalam pandangan islam, hal ini belum bisa dikategorikan sebagai musyrik karena
seperti yang tertera dalam kaidah fiqih yang artinya segala sesuatu
bergantung kepada maksud dan tujuannya. Karena bantengan ini tidak
bermaksud untuk mensekutukan Tuhan, hanya untuk pertunjukan budaya maka hal ini
tidaklah termasuk dalam perbuatan syirik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari makalah ini berdasarkan
rumusan masalah yang ada yaitu sebagai berikut:
1.
Pandangan masyarakat
terhadap kebudayaan bantengan yaitu dari banyaknya nilai yang terkandung dalam kebudayaan bantengan, dimasa
kini telah terjadi pergeseran pandangan kebanyakan masyarakat pada masa
sekarang tidak mengindahkan ataupun tidak mengetahui nilai-nilai tersebut
karena mereka hanya mengetahui dan menginginkan hal-hal yang berbau mistis.
2.
Solusi agar nilai
estetika dari kebudayaan bantengan tidak tergeser yaitu dengan melakukan tindak lanjut terhadap penyalahgunaan budaya oleh
seniman dan budayawan yang mempunyai wewenang dan diberikan sangsi agar
penyalahgunaan tersebut tidak diulangi kembali. Dan setiap permasalahan tersebut haruslah diselesaikan
dengan baik-baik tanpa adanya pertengkaran atau perselisihan. Maka untuk
budayawan dan senima harus memberi nasehat kepada pendekar-pendekar agar lebih
mencintai budaya bantengan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Desprianto, Ruri Darma.
2013. Kesenian Bantengan Mojokerto Kajian Makna Simbolik Dan Nilai Moral. Avatara
Journal Pendidikan Sejarah. 1 (1).
Kalangie. 1994. Kebudayaan dan Kesehatan, Pengembangan
Pelayanan Kesehatan Primer Melalui Pendekatan Sosiobudaya. Jakarta: PT. Kasaint Blanc Indah Corp.
Koentjaraningrat. 1994. Metode-Metode Penelitian Masyarakat.
Jakarta: Gramedia.
Koentrajaningrat.
1996. Pengantar Ilmu Antropologi Jilid 1.
Jakarta: Rineka Cipta
Koentrajaningrat.
2002. Pengantar Antropologi II.
Jakarta: Rineka Cipta.
Koentrajaningrat.
2003. Pengantar Antropologi. Jakarta:
Rineka Cipta.
Kompasiana. 2010. Bantengan Seni
Tradisional Malang. www. Kompasiana.com. Diakses pada tanggal 30 Maret 2016
pukul 13.10 WIB
Magnis,
Dr. France dan Suseno SJ. 2003. Etika
Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Wisadirana, Darsono. 2004. Sosiologi
Pedesaan. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar